
       Oleh          Maroeli Simbolon, S.Sn
       Sumber: www.sinarharapan.com
       bulan          di atas kuburan
       Demikian          isi puisi ”Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang. Puisi sebaris,          teramat pendek, dan sederhana yang menimbulkan polemik. Di antaranya,          banyak bersuara nyinyir, ”Cuma sebegitukah menulis puisi? Sesederhana          itukah puisi? Berarti, gampang menulis puisi -- tak perlu sampai ‘berdarah-darah’          dan samedhi.” Benarkah demikian?
       Bagi          penyair, puisi adalah kebanggaannya, aliran darahnya, pelepasan ekspresinya,          kepribadiannya, ciri khasnya, napas hidupnya – bahkan, sarana mencari          sesuap nasi. Penyair menjadi mati – disebut tak berkarya –          jika tidak menulis puisi. Sekian banyak kredo yang disampaikan penyair          untuk menguatkan puisi -- seperti kredo Sutan Takdir Alisyabana, Chairil          Anwar, dan Sutardji Calzoum Bachri; dan bejibun arti yang dikemukakan          para ahli mengenai puisi, tetapi bagi orang awam, puisi adalah puisi –          barisan kata dan kalimat yang mempunyai bait, rima, irama, dan sebagainya.          Artinya, puisi tidak sepenting doa atau kitab suci.
       ***
       Suatu malam, di salah satu kafe di Taman Ismail Marzuki, Sutardji Calzoum          Bachri membenarkan bahwa menulis puisi itu gampang. ”Bahkan, apa          pun bisa ditulis jadi puisi,” katanya. Wah!
       Sesekali          menyeruput teh manis yang mulai dingin, penyair yang sudah meninggalkan          gaya mabok ini menjelaskan, segala kejadian yang ada, baik di sekitar          maupun jauh dari kita, dapat ditulis menjadi puisi. Juga, peristiwa yang          terjadi sesaat, seperti tabrakan kereta, pesawat jatuh, bom meledak, bisa          dijadikan puisi. Sebab, puisi tak jauh beda dengan tulisan-tulisan lainnya,          seperti laporan wartawan atau berita yang tertulis di koran, mengenai          politik, sosial, ekonomi, demonstrasi. ”Sehingga ada penyair yang          cuma memanfaatkan peristiwa-peristiwa tertentu untuk menulis puisi,”          katanya.
       Banyak          yang terkejut dan meragukan pendapatnya ini. Meski Tardji diakui sebagai          presiden penyair, bukan berarti perkataan presiden adalah sabda atau firman          – yang tidak ada salah atau cacatnya. Lalu, ia menunjuk sepotong          koran yang tergeletak di atas meja seraya menjelaskan bahwa berita-berita          itu dapat menjadi puisi bila dibacakan dengan teknik puisi.
       Serta          merta saya tertarik, meraih koran itu dan membaca sepenggal beritanya,          dengan artikulasi dan intonasi membaca puisi. Apa yang terjadi? Tardji          tersenyum. Dan teman-teman seniman memperhatikan dengan mangut-mangut.          Merasa belum cukup, saya membaca dua lembaran besar menu makanan dan minuman          yang tergantung di dinding kafe itu dengan artikulasi dan intonasi yang          sama dalam pembacaan puisi:
       Nasi          Goreng Es Campur
       Pecel Lele Wedang Jahe
       Soto Babat Es Jeruk
       Ikan Bakar Kopi Susu
       Sate Kambing Jus Nenas
       Mendengar          itu, Tardji tertawa. Dan teman-teman seniman bertepuk tangan. Sebaliknya,          ingatan saya segera tertuju kepada dua penyair muda berbakat besar, yang          mengekspresikan pendapat Tardji ini – dengan pendekatan lain. Yonathan          Rahardjo sering menulis puisi dengan memasukkan jenis-jenis makanan dan          minuman masyarakat kita sehari-hari, seperti ketupat, lepat, peyek, bandrek,          pisang goreng.
       Lebih          ekstrem lagi Saut Sitompul, penyair yang baru saja pulang ke haribaanNya,          berhasil menulis apa pun jadi puisi, bahkan menganjurkannya. Seperti isi          salah satu puisinya:
       ada          daun jatuh, tulis/ada belalang terbang, tulis…
       Jadi,          benarkah segala sesuatu (persoalan) dapat dijadikan puisi? Tak perlukah          bersusah payah menulis puisi? Tak perlukah merenung di gunung dan berpuasa          setahun untuk membuat puisi? Tak perlukah perenungan, pendalaman dan pemadatan          makna?
       Tergantung          pencipta puisi itu sendiri. Tetapi, siapa yang keberatan, jika apa saja          yang dilihat, didengar, dirasa, dialami, lalu ditulis dengan bentuk puisi,          lalu dinobatkan sebagai puisi? Jika semua masalah ditulis dengan berbentuk          bait puisi, adakah yang melarang? Itu hak asasi seseorang. Hak berpendapat.          Hak berekspresi. Hak berkarya. Bila akhirnya puisi yang dihasilkan itu          dianggap tak berguna, ya, terserah. Jika pun orang-orang menganggap rada          gila, ya, biarkan saja. Bukankah penyair besar sering bertingkah aneh-aneh,          misalnya mabok bir, bawa kapak, buka baju dan bergulingan di atas panggung          kala baca puisi? Lagi pula, entah apa dasar hukumnya, untuk dapat diakui          penyair, seseorang harus berani bertindak rada gila; seperti teriak-teriak          di keramaian, baca puisi di atas pohon? Semuanya demi puisi, demi puisi.          Demikian anehkah puisi?
       ***
       Banyak          jalan menuju Roma. Beribu cara untuk menciptakan puisi. Salah satu kiat          jitu yang kerap diakui (baik tua maupun muda dan pemula) adalah jatuh          cinta. Bukankah orang yang sedang kasmaran gampang menulis puisi? Seperti          puisi ”Surat Cinta” Rendra, berikut ini:
       Engkau          adalah putri duyung
       tergolek lemas
       mengejap-ngejapkan matanya yang indah
       dalam jaringku.
       Jadi,          dengan menumpahkan isi hati di atas secarik kertas dengan kata-kata indah          dan terpilih, tulisan akan menjelma puisi. Atau, silakan tulis surat cinta          dengan kalimat-kalimat berbunga, dengan bentuk larik dan bait puisi, ya,          dapat juga disebut puisi. Artinya, semakin sering jatuh cinta, tentu semakin          terangsang untuk menulis puisi lebih banyak. Semakin banyak jatuh cinta,          semakin banyak stock puisi yang akan tersedia.
       Berarti,          puisi itu dapat dihasilkan oleh siapa pun, yang bukan penyair? Benar.          Siapa pun boleh menulis puisi -- tidak sebatas penyair semata. Tidak ada          syarat atau batasan tertentu untuk dapat menulis puisi. Pencopet, penodong,          pedagang asongan, petani, polisi, politikus, penipu, penjudi, pengusaha          menengah, bankir, konglomerat, pengamen, boleh menulis puisi, tak ada          larangan atau kutukan. Tak perlu takut dan frustasi. Puisi itu bukan kuntilanak          atau momok hitam yang menakutkan. Jadi, tulislah puisi semampu dan seluas          jangkauan dan wawasan.
       Jika          puisi yang ditulis dinilai orang jelek, tak perlu berduka dan frustasi.          Terus saja menulis puisi, meski belum memenuhi kaidah-kaidah puitis. Ciptakan          terus, tanpa henti – toh masih ada hari esok menanti untuk puisi          yang (mungkin) lebih baik. Sejelek apa pun puisi yang dibuat, kata Tardji,          tetap saja puisi. Tetapi, silakan renungkan sendiri, termasuk kategori          puisi apa? Puisi asal jadi? Puisi basi? Adakah berisi tanda? Atau sekadar          corat-coret penumpahan isi hati?
       Ingat,          puisi bukan alat propaganda, bukan sarana pelepasan kegalauan, bukan pula          tong sampah unek-unek.
       ***
       Meski          bahasa puisi dan bukan puisi terasa cair; sesungguhnya puisi, sesederhana          apa pun, harus penuh dengan ambiguitas dan homonim, penuh dengan asosiasi,          memiliki fungsi ekspresif, menunjukkan nada dan sikap—mengutamakan          tanda. Masalah ini dipertegas Rene Wellek & Austin Warren, bahasa          puisi penuh pencitraan, dari yang paling sederhana sampai sistem mitologi          (1993:20). Sementara Sapardi Djoko Damono memberi pengertian lebih sederhana,          bahwa puisi adalah ”ingin mengatakan begini, tetapi dengan cara          begitu.”
       Jika          demikian, puisi yang tidak dipenuhi tanda, belum layak disebut puisi?          Ingat pendapat Tardji, tetap puisi. Tetapi puisi sesaat; sekali cecap          langsung tak bermanfaat. Puisi donat. Seperti puisi yang dibuat anak kelas          empat SD, tetap saja disebut puisi. Itu pula alasan Tardji membagi puisi          berdasarkan fungsinya. Jika seseorang menulis puisi untuk kebutuhan sesaat,          ya, cuma sebatas itu manfaatnya. Puisi itu akan segera tersapu angin dan          hujan. Sebaliknya, jika puisi diciptakan berdasarkan perenungan mendalam,          tanpa dipengaruhi kebutuhan apa pun, akan menjadi puisi sejati. Contohnya          puisi-puisi Chairil Anwar. ”Maka, sangat disayangkan, bila ada penyair          yang menulis puisi dengan memanfaatkan peristiwa-peristiwa tertentu,”          imbuhnya.
       Sekilas          pendapat ini bertentangan dengan kesimpulan Wellek & Warren, bahwa          tipe-tipe puisi harus memakai paradoks, ambiguitas, pergeseran arti secara          konstektual, asosiasi irasional, memperkental sumber bahasa sehari-hari,          bahkan dengan sengaja membuat pelanggaran-pelanggaran. Tetapi, bila dicermati,          pendapat Tardji lebih mudah dimengerti dan lebih menegaskan atas keluhan          penyair-penyair muda, ”Ada juga puisi pesanan. Puisi yang ditulis          oleh penyair untuk kebutuhan, momen atau acara tertentu dengan bayaran          tertentu pula.”
       Bertitik          tolak dari pendapat ini, berarti menulis puisi teramat sulit-lit. Tidak          cukup dengan mengamati peristiwa-peristiwa yang ada. Menulis puisi harus          penuh perenungan, mendasar dan berdasar. Bahkan, terkadang harus mengalami          trance. Apa yang dilihat, didengar, dirasa, dialami, tidak serta merta          dapat dijadikan puisi, melainkan harus dikaji, diendapkan, direnungkan          secara mendalam. Untuk menulis sebuah puisi saja, sering penyair harus          melalui proses sepekan, setahun, sepuluh tahun. Itu pula sebabnya, bila          dibandingkan dengan karya seniman lain, sepertinya daya kreativitas penyair          dalam berkarya sangat tertinggal jauh. Sebab, setiap penyair (sejati),          meski telah berkarya secara maksimal seumur hidupnya, tak dapat menghasilkan          seabrek puisi. Bahkan, tak sedikit penyair seumur hidupnya cuma mampu          menulis beberapa puisi, misalnya Toto Sudarto Bachtiar, Subagio Sastrowardoyo,          JS Tatengkeng.
       Lalu,          masihkah dapat disebut menulis puisi itu gampang? Ada yang menjawab, tergantung          kata hati. Ada juga yang menyebut, tanyakan daun-daun yang berguguran.          Bahkan, ada pendapat lebih ekstrem, tanyakan pejabat atau konglomerat          yang getol bikin puisi, lalu menerbitkan seabrek buku puisi (persis album          rekaman dangdut) dan membuat album dangdut puisi atau puisi dangdut yang          dipasarkan door to door dengan pelbagai alasan sosial, kemanusiaan dan          pengabdian. Ayo, siapa ikut bergoyang puisi?